KENDARI, ANOAAGENCY.COM – Banyak kepala daerah di Indonesia berakhir masa jabatan tahun 2022 dan 2023 dan menanti kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024. Para kepala daerah dengan masa jabatan berakhir, untuk sementara bakal digantikan oleh penjabat daerah (PJ).
Sayangnya, dalam penetapan calon PJ kerap memunculkan polemik, lantaran PJ yang ditunjuk menjabat di daerah, selalunya berdasarkan hak rekomendasi Kemendagri, dan cenderung mengabaikan kandidat calon PJ usulan gubernur yang notabene adalah aspirasi daerah.
Rekomendasi Kemendagri tersebut dinilai sebagai hak istimewa sehingga banyak pihak menuding bahwa proses penunjukan tersebut telah menyalahi aturan perundang-undangan.
Pengamat Hukum dan Tata Negara Sulawesi Tenggara (Sultra), Dr LM Bariun SH MH, turut mengomentari polemik tersebut. Menurutnya, perlu ada kejelasan dan penegakan aturan yang jelas terkait persoalan ini, sebab penunjukan PJ oleh Kemendagri juga kerap melenceng dari tupoksi pejabat itu sendiri, dimana ada sebagai PJ justru dijabat dari unsur TNI Polri.
Padahal dari sisi loyalitas, perlu dilihat ada ketentuan Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2016, kemudian Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang TNI Polri.
“Umpamanya sekarang ini jadi ramai persoalan TNI Polri jadi kepala daerah, sementara dalam undang-undang itu jelas tidak boleh menjabat pada jabatan politik, karena mereka personal diikat oleh undang-undang,” katanya.
“Nah, sekarang apa yang dilakukan pemerintah tentang pengangkatan para pejabat bertentangan dengan utusan MK. Utamanya mengangkat pejabat tanpa standar. ada undang-undang. Seharusnya Mendagri buat dalam peraturan permendagri. Dalam permendagri memuat tentang pengangkatan jabatan bupati, gubernur, walikota. Ada standar dan mekanisme yang dibutuh, tapi ini tidak ada sama sekali. Nah begitu tidak ada bertentangan dengan putusan MK,” terangnya lagi.
Dijelaskan juga Dr LM Bariun, dalam utusan MK bahwa pengangkatan pejabat bupati, wali kota, gubernur, harus ada standarisasi mekanisme untuk menentukan siapa yang layak.
“Contohnya kalau di daerah itu persoalan ekonomi maka didatangkanlah pejabat yang andal bidang ekonomi. Kalau kendalanya daerah berkaitan dengan industri, maka penjabatnya tentu yang kredibel di industri. Nah, simpelnya bahwa sebenarnya yang paling ideal menteri mengangkat pejabat dari aspirasi rakyat. Persoalannya sekarang jabatan PJ tidak memiliki kebijakan strategis. Jika membuat kebijakan strategis maka dia harus konsultasi lagi ke Mendagri, nah itu arahnya sentralistik, bukankah sistem ini berarti kembali lagi ke orde baru padahal kita tak mau lagi kembali ke jaman itu, terus kemana sistem otonomi daerah?,” tegas LM Bariun.
“Coba bayangkan dengan sistem ini, berarti ada 271 kepala daerah akan berkonsultasi ke Mendagri soal kebijakan strategis sentralistik ini. Jadi keinginan kita harus tunduk dengan aturan undang-undang,” tambahnya.
Mekanisme penentuan penjabat daerah dijelaskan LM Bariun, lebih kepada jabatan politis dimana arahnya adalah aspirasi. Gubernur tentunya mengangkat seorang PJ dengan penuh sudah melakukan pengkajian dan rekam jejak dari calon itu.
“Nah, berarti dengan mengabaikan itu maka mengabaikan aspirasi daerah. Sekarang, dimana asas otonomi daerah?. Itulah sekarang kita kembali pada sentralistik. Sekarang banyak kita lihat ada berapa bupati yang dilantik, ada 15 menit sudah mundur. Akhirnya menandakan bahwa tidak adanya standar mekanisme proses pengangkatan pejabat,” tutupnya.